Jumat, 30 Januari 2009

Gaya Pengasuhan


Apa hubungannya masa depan saya dan anak-anak dengan gaya saya mengasuh anak? Sebuah pertanyaan yang wajar, jika kita mencermati pernyataan judul di atas. Jika anak kita menjadi orang yang bahagia, tahu apa tujuan hidupnya, menghasilkan karya yang berguna bagi bangsa, tentunya kita turut menjadi bahagia juga kan di masa depan ?

Coba bayangkan apabila anak kita tumbuh menjadi orang yang miskin, pemurung, tidak tahu harus bekerja di bidang apa, tidak tahu cara memilih pasangan hidup, tentunya, kita di masa depan akan ikut menjadi tidak bahagia dan mengalami penyesalan seumur hidup, bukan?

Memiliki anak yang bahagia, tahu tujuan hidupnya dan mampu berkarya adalah hasil pengasuhan yang kita lakukan sejak anak masih dalam perlindungan kita. Jika kita salah mengasuhnya maka ia akan menjadi apa yang telah kita asuhkan. Ambil contoh Obama, jika Obama tetap diasuh oleh ibunya dan tinggal di Indonesia, ia tentunya akan menjadi Obama yang berbeda dengan Obama sekarang. Pengasuhan yang diterima olehnya, mengharuskan ia untuk bisa mengakomodasi perbedaan yang ada disekelilingnya. Ia yang berkulit hitam harus bisa bergaul dan beradaptasi dengan lingkungan tempat kakek neneknya tinggal yang jelas-jelas berkulit putih. Hasilnya, bisa dilihat dalam kabinet yang dibentuknya. Ia berencana menyatukan orang-orang hebat yang memiliki pandangan berbeda dengan dirinya menjadi 1 kabinet.

Saat ini, Obama mengusulkan Hillary Clinton, mantan rivalnya dalam pencalonan presiden dari partai Republik. Bahkan, McCain yang jelas-jelas memiliki pendapat berbeda dengannya, direncanakan akan direkrut sebagai salah satu mentri dalam kabinetnya. Hebat bukan ? Coba imajinasikan, jika Obama tetap tinggal di Indonesia dan menjalani proses pendewasaan di sini. Mungkinkah Obama menjadi pribadi yang berbeda?
Pernahkah anda mendengarkan orangtua yang menuntut anaknya seperti ini, ”Pokoknya … kamu harus pulang ke rumah sebelum jam 8”. Tanpa ada penjelasan mengenai mengapa anak harus pulang jam 8. Atau tidak memberikan anak pilihan keputusan yang bisa dipilih, ”Papa mau kamu masuk kuliah jurusan ABC. TITIK.” Atau, orangtua yang berkata kepada anak usia SMP,”Ya sudah … terserah kamu! Yang menurut kamu baik, jalankan saja.” Tanpa penjelasan dan batasan mengenai apa yang baik dan jelek. Padahal usia ini masih mencari mengenai hal yang baik dan tidak baik. Ketiga orangtua ini memiliki gaya mengasuh yang berbeda kepada anaknya.

Untuk lebih menyederhanakan, gaya pengasuhan dapat diibaratkan (namun tidak dapat disamakan) dengan gaya kepemimpinan di kantor. Dalam kehidupan sehari-hari, jika kita sebagai karyawan, kita berjumpa dengan bos atau atasan kita yang memiliki gaya memimpin berbeda. Ada yang otoriter, yang tidak memiliki empati kepada anak buah sehingga setiap tugas atau perintah harus dilaksanakan dengan segera (seperti dalam film The Devils Who Wear Prada).

Ada juga bos yang bisa memahami anak buahnya sekaligus mampu bertindak tegas, bisa membedakan urusan personal atau urusan profesional. Ada juga bos yang bisa disetir oleh anak buah. Atau bos yang tidak peduli pada hasil kerja anak buah sudah berkualitas atau tidak, yang penting mereka tetap bekerja dan tetap dibayar penuh tiap bulannya. Gaya kepemimpinan ini tentunya akan berpengaruh pada suasana kantor serta berpengaruh pada hasil pekerjaan anak buah yang dipimpin bukan ?

Nah, gaya pengasuhan adalah cara yang kita gunakan dalam merawat, berkomunikasi, dan mendidik anak kita. Mengapa sampai muncul penelitian tentang gaya pengasuhan ? Karena hal ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan anak ketika dewasa. Penelitian mengenai gaya pengasuhan ini telah dilakukan sejak tahun 1930-an. Salah seorang peneliti yang teorinya banyak digunakan hingga sekarang dan dianggap paling populer adalah Diana Baumrind. Penelitiannya dilakukan pada tahun 1968 dan hingga sekarang, hasil penelitiannya ini masih digunakan oleh masyarakat umum dan dijadikan bahan penelitian oleh mahasiswa.

Gaya pengasuhan menurut Baumrind, dibedakan menjadi 4 kategori yaitu gaya authoritarian, gaya authoritative, gaya permissive, dan gaya neglectful/uninvolved. Perbedaan dasar ke-empat gaya pengasuhan ini adalah terletak pada harapan orangtua dan kehangatan kasih sayang yang ditunjukkan oleh orangtua.

1. Gaya Pengasuhan Authoritarian.
Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan ini dapat disamakan dengan bos yang tegas dan kejam. Beliau dengan jelas menerapkan visi perusahaan dan dia dengan tegas menjalankan semua peraturan yang memang harus dilakukan tanpa pandang bulu. Tiap anak buah harus menaati tanpa kecuali. Bos tipe ini tidak dapat diajak diskusi dan tidak boleh ada yang mempertanyakan alasan pemberlakuan peraturan. Ya… bisa dibayangkan, tipe anak buah yang dipimpinnya. Penurut, tidak berani ambil keputusan, hanya berani menentang dibalik punggung bos. Atau melakukan korupsi kecil-kecilan asal tidak ketahuan sebagai tanda melawan bos.

Gaya bos seperti itu, juga terbawa sampai di rumah dan digunakan untuk memperlakukan istri/suami dan anaknya. Biasanya pemikiran yang melandasi adalah anak tidak tahu yang benar dan baik, jadi harus menuruti keinginan orangtua, menjalankan peraturan yang diberikan tanpa boleh dipertanyakan atau diberikan hak untuk memilih. Selain tegas menerapkan peraturan dan keinginannya orangtua tipe ini juga kurang memiliki hubungan emosional yang hangat dengan anaknya. Mereka cenderung mengabaikan kebutuhan emosi anak, menerapkan kondisi cinta bersyarat dan menggunakan ancaman untuk tidak memberikan cinta atau perhatian jika anak tidak mau menurut. Komunikasi dengan anaknya pun tidak jauh berbeda dengan yang dialami salah seorang klien saya, dibumbui dengan sedikit manipulasi dan ancaman terselubung “Kalau kamu mau disayang sama mama dan papa, kamu harus menjadi anak yang baik dan penurut.”

Atau “Papa dan mama paling suka lho… sama anak yang mau mendengarkan kata-kata papa mamanya, nggak nakal, sayang sama adiknya/kakaknya.”

Atau “Papa jadi sayang sama kamu karena kamu bisa mendapatkan nilai 8 untuk ulangan matematika tadi.”

Tentunya, anak yang terus menerus menerima perlakuan ini berkembang menjadi anak yang kurang memiliki rasa aman, memiliki konsep diri yang kurang sehat, kurang percaya diri, dan cenderung mengkaitkan kepemilikkan materi atau status sebagai simbol rasa amannya.

Apabila keadaan ini terus berlanjut, anak tumbuh menjadi pribadi penurut, pasif, biasanya tidak bermasalah dalam beradaptasi dengan norma atau kebalikannya cenderung menentang otoritas. Keduanya sama-sama kurang trampil dalam bersosialisasi. Mereka juga biasanya tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak tahu apa yang baik untuk diri mereka ataupun tujuan hidup mereka. Mereka sering mengalami kebingungan mengenai hal yang benar dan salah. Orang yang tumbuh dengan keadaan demikian tentunya tidak akan mengalami kebahagiaan dalam hidupnya.

Orang yang tumbuh menjadi pribadi yang penurut dan pasif akan lebih senang jika orang lain yang mengambil keputusan untuk dirinya. Akibatnya, hubungan yang dibina oleh orang seperti ini akan menjadi sebuah hubungan yang rapuh, mudah mengalami konflik. Bahkan ketika memasuki pernikahan, mereka cenderung memilih pasangan yang suka mengontrol dan kasar. Atau, kemungkinan kecil, orang yang tumbuh cenderung melawan secara terang-terangan kepada orangtua dengan melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh orangtua. Misalnya kabur dari rumah atau menjalin hubungan dengan pasangan yang jelas-jelas tidak disukai oleh orangtua. Biasanya gaya pengasuhan ini lebih banyak berdampak negatif kepada anak laki-laki daripada anak perempuan. (bersambung)

Sandra M.,MPsi, Psikolog

0 komentar:

Posting Komentar

 

Featured